Siasatnusantara.com – Kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading Langkat Timur Laut (SMKG LTL) di Sumatera Utara, yang dahulu menjadi benteng terakhir bagi satwa liar, kini porak poranda. Terlihat, jumat,(06//06/2025).
Pepohonan mangrove yang seharusnya melindungi garis pantai dari abrasi, kini telah berganti menjadi hamparan perkebunan sawit ilegal. Dari gemerisik daun hutan dan kicauan burung yang dulu memenuhi langit, kini suara mesin panen dan truk pengangkut buah sawit yang mendominasi.
Di balik hijau rimbun kebun sawit itu tersembunyi kisah kelam: perambahan hutan, pembiaran oleh aparat, hingga dugaan praktik jual-beli ilegal yang melibatkan pemodal besar. Nama Alexander Halim alias Akuang disebut-sebut sebagai dalang di balik peralihan fungsi hutan lindung menjadi perkebunan sawit pribadi.
Ironisnya, meskipun lahan ini telah disita oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara sejak 2022 berdasarkan putusan pengadilan, aktivitas panen tetap berjalan tanpa hambatan. Investigasi terbaru bahkan menemukan bahwa hasil panen dari kebun sawit ilegal ini masih disetor langsung kepada Akuang melalui koperasi bentukan pihaknya, yang kini dikelola oleh Rajali alias Agam, orang kepercayaannya.
Yang lebih mencengangkan, meski beberapa kepala desa yang diduga ikut membantu legalisasi lahan telah dijadikan tersangka, Akuang masih bebas tanpa ada tindakan hukum tegas. Publik bertanya: Mengapa penegakan hukum begitu tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas?
Dampak dari perambahan ini bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga lingkungan dan mata pencaharian masyarakat sekitar. Hilangnya tutupan mangrove menyebabkan abrasi pantai semakin parah, mengancam desa-desa pesisir.
Para nelayan yang dulunya mengakses laut dengan mudah kini kesulitan karena sungai dan kanal yang dulu jernih telah tertutup sedimentasi dari kebun sawit.
“Kami dulu bisa langsung ke laut dari belakang rumah. Sekarang yang ada hanya sawit dan parit penuh lumpur,” keluh Muhammad Ramlan, mantan nelayan yang kini berjuang mengembalikan hutan ke kondisi semula.
Populasi satwa liar juga semakin menyusut. Burung bangau bluwok, yang dulunya menjadi penghuni tetap kawasan ini, kini hampir punah. Anak-anak yang dahulu bisa melihat satwa liar dari halaman rumah mereka, kini hanya melihat truk-truk sawit yang lalu-lalang.
Meski kasus ini telah bergulir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Medan, banyak pihak meragukan efektivitasnya. Dua terdakwa utama, yakni Alexander Halim alias Akuang dan Kepala Desa Tapak Kuda, Imran SPd, tengah diadili.
Namun, dengan nilai kerugian negara yang mencapai ratusan miliar rupiah dan kehancuran ekosistem yang tak ternilai, apakah hukuman yang dijatuhkan nantinya cukup untuk memberi efek jera?
Lebih dari sekadar kasus korupsi, kasus ini memperlihatkan bagaimana kepentingan ekonomi jangka pendek bisa mengalahkan perlindungan lingkungan yang seharusnya dijaga untuk generasi mendatang.
Publik bertanya: Jika kawasan konservasi yang sudah disita negara pun tetap bisa dimanfaatkan secara ilegal, masih adakah harapan bagi hukum dan keadilan lingkungan di negeri ini? (Mrt)
Bersambung…











