Pemkab Hadir di Tengah Air: Diantara Banjir, Doa dan Dapur Umum yang Menjaga Harapan Kampung Tanjung

Mentok, Bangka Barat, siasatnusantara.com – Di Gedung Serbaguna Kecamatan Mentok, uap panas dari panci-panci raksasa mengepul seperti doa yang naik menuju langit mendung. Di tengah kepulan itu berdiri Pemerintah Kabupaten Bangka Barat bukan dalam bentuk gedung megah atau rapat formal, tetapi dalam tubuh para relawan, tumpukan nasi bungkus, dan langkah cepat petugas yang tak pernah takut basah.

Dan di pusat denyut itu, hadir sosok yang sejak lama menjadi kompas dalam setiap musim air pasang dan hujan panjang di Bangka Barat Kepala BPBD H. Safrizal, S.E.

Hari ini, Senin (08/12/2025), ketika Kampung Tanjung kembali diuji oleh pertemuan hujan sabar dan air laut keras kepala, Pemkab Bangka Barat memilih tidak menunggu laporan, tidak menunggu sorotan kamera tetapi hadir. Cepat. Utuh. Dan penuh empati.

Sejak subuh, langit seperti diselimuti murung. Namun sebelum air sampai setinggi mata kaki warga, para petugas BPBD sudah lebih dulu menyiapkan dapur umum, memastikan bahwa tidak ada keluarga yang membiarkan lapar mengambil peran dalam kecemasan.

“Kami sudah memberikan warning berulang kali. Apel siaga, peringatan pasang, pemantauan cuaca semua kami lakukan,” ujar H. Safrizal dengan sorot mata pemimpin yang mengerti betapa rumitnya merawat keselamatan ratusan ribu jiwa.

Dari Sabtu, BPBD mencatat naik-turun pasang.

“Minggu itu 42. Hari ini 43 yang tertinggi. Dan jam 09.52 tadi pagi puncaknya,” katanya, seakan setiap angka adalah detak jantung warga yang ia jaga.

Ia menghela napas. Napas seorang pejabat daerah yang lebih sering berada di lapangan daripada di ruang ber-AC.

“Minggu kemarin pasang cepat turun. Hari ini? Dua-duanya ketemu. Pagi dihajar hujan lebat, jam sembilan sampai sepuluh dihantam rob. Jadilah lama,” ucapnya.

BACA JUGA:  Akibat Mabok Miras, Sat Reskrim Polres Belitung Berhasil Ringkus KR Pelaku Dugaan Pencabulan Terhadap Anak di Bawah Umur

Namun sebelum keluhan muncul dari bibir warga, pemerintah telah hadir dengan solusi paling basah, paling sederhana, tetapi paling manusiawi: makanan hangat dan kehadiran nyata.

Dapur umum kali ini bukan sekadar tempat memasak, ia menjelma menjadi jantung yang memompa harapan ke seluruh Kampung Tanjung. Relawan BPBD dan Pemkab bergerak cepat, Ada yang mengaduk wajan raksasa, Ada yang membungkus lauk, Ada yang memanggil warga satu per satu agar tidak ada yang pulang dengan tangan kosong.

Dapur umum itu berbicara dengan bahasa yang tidak butuh konferensi pers:Bahwa negara hadir. Bahwa pemerintah peduli. Bahwa Bangka Barat tidak berjalan sendirian.

H. Safrizal memandang para relawan yang bekerja tanpa henti dan berbicara pelan, seperti seorang tetua desa yang menjaga anak-anaknya dari badai yang belum reda.

“Bencana itu bukan musuh yang datang tiba-tiba. Ia memberi tanda-tanda. Ia berbisik lewat curah hujan, angka pasang, awan yang cepat gelap. Tugas kami membaca bisikan itu.”

Dan ketika ia menambahkan,
“Penanggulangan bencana bukan hanya soal sirene. Ini soal hati yang siap dan masyarakat yang bersatu.”

seisi ruangan terasa memahami bahwa hari itu BPBD bukan sekadar lembaga, tetapi menjadi penopang moral bagi warga Tanjung.

Ketika Pemerintah Merenungi Masa Depan Kampung
Tentang papan “Kawasan Rawan Banjir”, ia menjawab dengan bijaksana.

“Talut pernah dibahas. Pintu air diusulkan. Relokasi pun jadi pertimbangan. Semua butuh waktu dan kesadaran masyarakat.”

Ia tidak ingin banjir dianggap rutinitas yang diterima tanpa upaya.

“Setiap banjir itu luka. Ada kasur basah, beras hanyut, anak menangis. Kami tidak mau ini berulang. Karena itu kami terus memperbaiki sistem dan cara kami hadir.”

Di balik ketegasan itu, ada empati seorang pemimpin yang setiap tahun harus mendengar kabar air naik, tetapi tidak pernah membiarkan harapan warga ikut tenggelam.

BACA JUGA:  Anggaran Dana Desa Wilayah Deli Serdang Diduga Ada Masuk 80 Juta Per-Instansi Tertentu Agar Bisa Aman

Saat langit mulai cerah, H. Safrizal menutup pembicaraan dengan suara yang lebih seperti doa daripada pernyataan formal.

“Kita tidak bisa menghentikan hujan. Tidak bisa menahan laut. Tapi kita bisa mengatur cara menghadapi keduanya dengan ilmu, persiapan, dan saling menguatkan. Mari kita berdoa besok tidak hujan lagi,” harapnya.

Tak lama setelah itu, ia kembali ke dapur umum Tanpa kamera, Tanpa sambutan, Tanpa protokol.

Hanya seorang pemimpin daerah yang memegang sendok sayur, memastikan warga makan, memastikan kecemasan tidak mengambil alih hati mereka.

Di hari ketika air naik dan harapan sempat jatuh, Pemkab Bangka Barat datang bukan dengan janji tetapi dengan porsi nasi, tenda pengungsian, dapur umum, dan kehadiran yang tidak meminta tepuk tangan.

Satu porsi makanan hangat.
Satu keputusan yang tepat waktu.
Satu langkah yang menegakkan kembali kepercayaan warga pada pemerintahnya.

Kampung Tanjung memang masih basah hari ini. Tetapi berkat kehadiran BPBD, harapan mulai mengering.
Perlahan tetapi pasti.

Dan di tengah genangan, Pemkab Bangka Barat once again membuktikan: Ketika bencana datang, mereka bukan hanya hadir mereka berdiri paling depan.

(*/Belva).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *