Dari Ruang Kelas Berdebu, Defrizal Guru SD Negeri 2 Kelapa Bangka Barat Akhirnya Berikan Cahaya ke Panggung Nasional

Kelapa, Bangka Barat, siasatnusantara.com – Dunia pendidikan Bangka Barat mencatat sejarah baru. Untuk pertama kalinya sejak kabupaten ini berdiri, seorang guru sekolah dasar dari daerah kecil tersebut dinobatkan sebagai Juara 1 Guru Dedikatif Nasional 2025 pada ajang Apresiasi GTK Nasional di Jakarta, 24–29 November 2025. Ia adalah Defrizal Adrian, S.Pd SD Gr, sosok pendidik yang telah mengabdi di SD Negeri 2 Kelapa selama hampir dua dekade.

Penghargaan yang diraih Defrizal bukan sekadar prestasi personal. Ia menjadi tonggak penting, sebuah penanda bahwa daerah di pinggiran peta pendidikan nasional pun mampu bersuara dan bersinar. Kemenangan itu sekaligus membangunkan kembali harapan lama bahwa mutu pendidikan tidak ditentukan oleh megahnya gedung, melainkan oleh terang yang dibawa seorang guru.

“Prestasi ini bukan milik saya. Ini milik anak-anak Kelapa yang percaya pada sekolahnya,” ujar Defrizal dalam wawancara khusus, Rabu (04/12/2025).

Kategori Guru Dedikatif baru diperkenalkan beberapa tahun lalu, namun keberhasilan meraih posisi puncak di tingkat nasional adalah pencapaian yang belum pernah diraih Bangka Barat sebelumnya. Seleksi berlapis dari tingkat kabupaten hingga nasional menilai rekam jejak pengabdian, ketulusan, dampak nyata, serta konsistensi seorang guru dalam mengubah hidup murid-muridnya.

Dalam keseluruhan indikator itu, nama Defrizal menonjol bukan karena kemegahan presentasi atau narasi yang penuh retorika, melainkan karena kehadirannya yang tidak pernah absen bagi murid-muridnya.

Sejak 2006, ia bertahan di sekolah kecil dengan ruang kelas berlantai semen yang kadang berdebu, dinding penuh poster buatan tangan, serta tawa anak-anak yang menjadi musik latar setiap pagi.

“Kita memang kecil di peta. Tapi kita besar di hati anak-anak,” ucapnya pelan.

Kisah ini tidak lahir dari panggung megah. Ia tumbuh diam-diam dari ruang kelas yang hanya diterangi cahaya matahari pagi. Saat wawancara berlangsung di ruang kelas III, Defrizal sempat berhenti sejenak untuk membantu seorang murid mengancingkan baju yang lepas.

“Guru itu bukan hanya mengajar. Kadang kita harus jadi tangan tambahan untuk hal-hal yang mereka belum bisa,” tuturnya.

Anak-anak bergantian datang kepadanya membawa PR, bertanya soal perkalian, hingga meminta jadwal bernyanyi lagu daerah. Tidak ada jarak antara mereka. Tidak juga sikap berlebihan dari seorang guru yang baru mengharumkan nama daerah di panggung nasional.

“Beginilah hidup saya. Inilah panggung pendidikan yang sesungguhnya,” katanya.

Di tengah percakapan, ia menyampaikan satu hal yang selama ini ia sembunyikan baik-baik: penglihatannya mulai kabur sejak tujuh tahun lalu.

“Mata saya meredup pelan-pelan. Tapi saya belajar melihat dengan hati. Anak-anak tetap terang,” ungkapnya, tanpa dramatisasi.

Ia harus mendekatkan buku sangat dekat ke wajah untuk memeriksa pekerjaan murid. Namun tidak ada satu pun kualitas mengajarnya yang menurun.

“Yang mundur hanya jarak pandang saya, bukan jiwa saya.”

Di tengah dunia yang sering menyamakan kualitas dengan fisik, Defrizal membalik logika itu. Ia membuktikan bahwa dedikasi tidak membutuhkan mata yang sempurna hanya hati yang penuh cahaya.

Langkahnya menuju panggung nasional dimulai dari surat resmi bernomor 3055/B5/GT.02.00/2025. Persiapan lombanya sangat sederhana. Ia hanya membawa laptop lama, pakaian adat Melayu, dan presentasi 10 slide. Tiket keberangkatannya adalah hasil gotong royong para guru di sekolahnya.

“Saya tidak membawa target apa pun. Saya hanya membawa ketulusan. Itu saja.”

Saat namanya diumumkan sebagai Juara 1, ia tidak langsung berdiri. Tidak bersorak. Tidak mencari kamera.

“Saya hanya menarik napas panjang. Karena kemenangan itu bukan tentang saya. Itu tentang sekolah ini tentang murid yang percaya bahwa guru mereka bisa.”

Prestasi itu segera menjadi angin segar bagi Bangka Barat, yang selama ini bekerja dalam senyap tanpa sorotan nasional.

Kabar kemenangan itu menyebar cepat. Banyak guru dari sekolah lain mulai melihat Defrizal sebagai simbol bahwa peluang tidak pernah hilang bagi mereka yang bekerja jujur dan tulus.

“Bermimpilah. Jangan takut berasal dari daerah kecil. Jika batinmu tulus, jalan akan terbuka.”

Pesan itu terdengar sederhana, tetapi bagi banyak guru yang merasa terpinggirkan oleh keterbatasan fasilitas, kata-kata tersebut menjadi pintu baru pintu yang membuka keyakinan bahwa pendidikan yang besar justru lahir dari ruang-ruang kecil.

Ketika kembali ke Kelapa, tidak ada karpet merah. Tidak ada upacara besar. Ia langsung kembali ke ruang kelas, ke papan tulisnya, ke murid-murid yang menunggu cerita.

Namun ia membawa sesuatu yang sebelumnya tidak dimiliki siapa pun di Bangka Barat bahwa cahaya yang mampu menjadi kompas baru bagi kebangkitan pendidikan daerah.

“Kalau daerah ini ingin maju, pendidikan harus jadi cahayanya,” katanya menutup perbincangan.

Dari ruang kelas sederhana SD Negeri 2 Kelapa, cahaya itu kini telah menyala pelan, sederhana, tetapi kuat. Ia lahir dari dedikasi seorang guru dengan mata yang mulai meredup namun hati yang selalu terang.

Cahaya itu kini bukan lagi milik Defrizal seorang. Ia telah menjadi milik Bangka Barat.

(*/Belva).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *