Sungailiat, Bangka, siasatnusantara.com – Selama lebih dari 30 tahun, Talisno mengabdikan hidupnya sebagai Guru Seni dan Budaya di Bangka. Dari ruang kelas hingga rumah sederhana di Parit Padang, ia konsisten menjaga seni tetap hidup, membentuk karakter, kepekaan rasa dan keberanian generasi muda di tengah perubahan zaman yang semakin cepat.
Talisno saat ini aktif mengajar di UPTD SMP Negeri 5 Sungailiat, sekolah negeri berakreditasi A di Jalan Jenderal Sudirman, Parit Padang. Ia adalah Pegawai Negeri Sipil yang dikenal tidak hanya sebagai pendidik formal, tetapi juga sebagai pembina seni yang membuka ruang belajar di luar sekolah tanpa pamrih.
“Seni itu tidak pernah minta dipamerkan. Ia hanya minta dirawat,” ujar Talisno, merangkum prinsip hidup yang ia pegang sejak awal mengajar.
Talisno lahir di Sungailiat pada 28 Oktober 1966. Ia tumbuh dan besar di lingkungan yang sama dengan tempat ia mengabdi hari ini. Kariernya sebagai guru dimulai pada 1990 di SMP Negeri 1 Mentok, Kabupaten Bangka Barat. Di tengah keterbatasan fasilitas dan alat, ia membangun fondasi pengajaran seni berbasis keberanian dan proses.
Pada 1993, ia pindah ke SMP Negeri 2 Sungailiat dan mengajar selama 16 tahun. Periode ini membentuk kematangan Talisno sebagai guru seni. Pergantian kurikulum, dinamika generasi murid, hingga perubahan sosial tidak menggeser keyakinannya bahwa seni harus tetap hadir di sekolah sebagai sarana pendidikan karakter.
Sejak 2009 hingga sekarang, Talisno mengajar di SMP Negeri 5 Sungailiat. Lokasi sekolah yang berdekatan dengan tempat tinggalnya menjadikan hidupnya nyaris tanpa jarak antara tugas profesional dan pengabdian sosial.
Di luar jam sekolah, rumah Talisno di Parit Padang berfungsi sebagai ruang belajar seni bagi anak-anak sekitar. Tanpa papan nama, tanpa biaya dan tanpa janji prestasi instan, anak-anak datang membawa kertas, pensil, dan harapan.
“Saya tidak menjanjikan juara. Saya menjanjikan proses,” kata Talisno.
Dari ruang sederhana itulah lahir berbagai prestasi lomba melukis dan menggambar. Namun bagi Talisno, keberanian anak-anak untuk mencoba dan bertahan dalam proses jauh lebih penting daripada piala atau piagam.
Karya-karya Talisno banyak mengangkat tema alam dan kehidupan sehari-hari seperti burung, buah mangga, kucing, air terjun, dan lanskap sederhana. Lukisan-lukisan itu menjadi media pendidikan visual tentang keseimbangan alam, kesederhanaan dan harmoni.
Ia tidak membatasi seni pada medium tertentu. Selain kanvas dan karton, dinding rumah pun ia jadikan media berkarya. Di sudut garasi, masih terlihat lukisan hitam-putih air terjun malam yang digoreskan langsung di tembok sebuah simbol bahwa seni tidak menunggu kondisi ideal.
“Kalau menunggu alat lengkap, seni akan sering tertunda,” ujarnya.
Selain melukis alam, Talisno dikenal piawai menggambar wajah dan karikatur. Dalam pengajaran tersebut, ia menanamkan nilai etika dan tanggung jawab. Menurutnya, satu garis dapat mengubah ekspresi dan karena itu setiap goresan harus disadari maknanya.
Di tengah maraknya penggunaan gawai, Talisno tidak menolak teknologi. Namun ia menekankan batas. Gawai baginya hanyalah alat bantu, bukan pengganti proses belajar manual yang melatih kesabaran dan tanggung jawab.
Ia mengajarkan murid untuk memahami proses berkarya dari awal hingga akhir, termasuk menerima kesalahan sebagai bagian dari pembelajaran.
“Kesalahan itu guru pertama,” ujarnya.
Talisno jarang berbicara tentang dirinya sendiri. Namun dari konsistensi pengabdiannya, ia menjadi figur human interest yang kuat dalam dunia pendidikan dan kebudayaan lokal Bangka. Di saat seni sering tersisih oleh tuntutan akademik dan teknologi, ia hadir sebagai penjaga nilai-nilai dasar pendidikan seni.
Ia mungkin tidak dikenal secara nasional. Namun di Sungailiat, Mentok, dan Bangka Barat, pengaruhnya hidup dalam karya anak-anak yang kini lebih berani, lebih sabar dan lebih peka terhadap lingkungan.
“Selama masih ada anak menggenggam pensil dengan harap, saya akan mengajar,” katanya.
Talisno membuktikan bahwa pendidikan dan kebudayaan tidak selalu membutuhkan sorotan besar. Cukup satu orang yang setia, satu ruang yang dibuka, dan satu keyakinan bahwa seni layak diperjuangkan maka dampaknya akan bertahan jauh melampaui ruang kelas dan waktu pengabdian.
(*/Belva).











