Tempilang, Bangka Barat, siasatnusantara.com – Wakil Bupati Bangka Barat Yus Derahman secara resmi meletakkan batu pertama pembangunan Tugu Perang Ketupat di Pantai Pasir Kuning, Desa Air Lintang, Kecamatan Tempilang, Minggu pagi, (14/12/2025).
Kehadiran orang nomor dua di Bangka Barat itu menandai dimulainya pembangunan monumen budaya yang diproyeksikan sebagai ikon baru pariwisata daerah sekaligus simbol penguatan identitas kultural masyarakat Tempilang.
Dalam sambutannya, Yus Derahman menegaskan bahwa Tugu Perang Ketupat bukan sekadar bangunan fisik, melainkan penanda komitmen pemerintah daerah dalam merawat tradisi dan menjadikannya kekuatan pembangunan. Ia menyebut monumen tersebut sebagai simpul yang menghubungkan sejarah, kebudayaan, dan masa depan ekonomi kreatif Bangka Barat, terutama menjelang pelaksanaan Festival Perang Ketupat 2026.
“Ini bukan sekadar bangunan. Ia adalah nadi yang mengikat jiwa masyarakat Tempilang dengan masa depan pariwisata kita,” ujar Yus Derahman dengan nada mantap, disambut tepuk tangan undangan dan warga.
Peletakan batu pertama itu dihadiri unsur Forkopimda, jajaran TNI–Polri, pejabat pemerintah daerah, tokoh adat, tokoh agama, serta masyarakat setempat. Kehadiran lintas institusi tersebut mempertegas pesan utama acara tradisi lokal kini berdiri sejajar dengan agenda pembangunan resmi daerah, berada dalam pelukan dan legitimasi negara.
Di Pantai Pasir Kuning, patung Perang Ketupat berwarna emas berdiri di atas pondasi berlapis warna biru, hitam, merah, dan hijau. Secara visual, monumen ini dirancang bukan hanya untuk menarik perhatian wisatawan, tetapi juga untuk menyampaikan pesan simbolik. Biru merepresentasikan laut sebagai ruang hidup masyarakat pesisir Tempilang, hitam dan merah mencerminkan ketegangan sejarah serta keberanian kolektif, sementara emas menjadi lambang pengakuan dan legitimasi atas tradisi yang telah “diangkat” menjadi ikon daerah.
Di sekeliling monumen, Yus Derahman berdiri berbaur dengan jajaran pejabat dan aparat. Tidak ada jarak antara pemegang kekuasaan dan simbol budaya. Posisi ini menegaskan peran pemerintah daerah sebagai aktor utama dalam penafsiran dan pengelolaan tradisi. Budaya tidak dibiarkan berjalan sendiri, tetapi diarahkan, dipresentasikan, dan ditempatkan dalam kerangka pembangunan.
Pose bersama aparat TNI, Polri, birokrat, dan tokoh adat dengan kepalan tangan terangkat memperkuat narasi visual tersebut. Di hadapan kamera, negara menampilkan diri sebagai pelindung tradisi, sementara Yus Derahman tampil sebagai wajah yang menyatukan kekuasaan administratif dengan simbol kebudayaan.
Perang Ketupat selama lebih dari satu abad hidup sebagai ritual rakyat yang cair, kolektif, dan sarat makna spiritual. Ia hadir sebagai media pembersihan batin, pengusir bala, sekaligus perekat sosial masyarakat Tempilang. Namun, melalui pembangunan tugu ini, tradisi tersebut memasuki fase baru dipahat, dibakukan, dan dipermanenkan dalam bentuk monumen.
Pemerintah daerah, melalui kepemimpinan Yus Derahman, memilih satu tafsir utama atas tradisi ini adalah tafsir yang representatif, produktif, dan mudah dikomunikasikan kepada publik luas. Tradisi tidak lagi hanya hidup dalam ritus tahunan, tetapi juga dalam ruang visual pariwisata, media sosial, dan promosi daerah.
Dalam konteks ini, Perang Ketupat ditempatkan sebagai aset strategis. Ia harus terlihat, difoto, dibagikan, dan menjadi daya tarik. Budaya tidak hanya dijaga agar lestari, tetapi juga diarahkan agar memberi nilai tambah ekonomi dan citra positif bagi daerah.
Tidak dapat dipisahkan dari konteks kepemimpinan, momen peletakan batu pertama ini juga membangun citra personal Yus Derahman. Dengan berdiri di depan patung emas Perang Ketupat, berlatar laut lepas dan dukungan lintas institusi, ia memosisikan diri sebagai pelindung tradisi, penyambung masa lalu dan masa depan, serta representasi resmi kebudayaan Bangka Barat.
Menjelang Festival Perang Ketupat 2026, tugu ini berfungsi sebagai penanda awal narasi besar yang sedang disusun. Pemerintah daerah tampil lebih dulu, menyiapkan panggung, sekaligus menetapkan arah cerita. Dalam narasi itu, Yus Derahman hadir sebagai figur sentral yang mengaitkan budaya dengan pembangunan, tradisi dengan modernitas dan identitas lokal dengan kebanggaan daerah.
Hari itu, batu pertama memang diletakkan di Pantai Pasir Kuning. Namun yang sesungguhnya dibangun adalah arsitektur ingatan publik. Tugu Perang Ketupat menjadi penanda bahwa tradisi telah melangkah dari ruang ritual menuju ruang kekuasaan dan kebijakan.
Di titik persimpangan itu, Yus Derahman berdiri tersenyum di depan monumen emas, dengan laut sebagai saksi dan kamera sebagai penjamin keabadian citra. Budaya telah disapa, dirangkul, dan ditampilkan.
Melalui monumen ini, kekuasaan memastikan bahwa sapaan itu terdengar jauh, melampaui Tempilang, melampaui waktu.
(*/Belva).











