Mentok, Bangka Barat, siasatnusantara.com – Ketika air rob menelan pesisir Mentok dan pemerintah sibuk menggelar rapat koordinasi, seorang perempuan bernama Fadilah bersama empat wartawan lokal Belva Al Akhab, Agus, Komarudin, dan Rudi. Memilih cara paling kuno sekaligus paling manusiawi untuk bertindak memanggul 4 ton beras dan membagikannya langsung kepada warga Kampung Tanjung dan Pasar Mentok yang terendam rob, Selasa (09/12/2025).
Tak ada sirene mobil dinas, tak ada kamera konferensi pers. Hanya langkah-langkah di atas lumpur, dan tangan yang menyalurkan harapan di tengah laut yang terus menelan daratan. Sementara para pejabat menunggu dana turun, mereka justru menurunkan karung beras.
Bantuan kemanusiaan itu datang dalam Dua Gelombang:
– Gelombang Pertama: 3 ton atau 600 karung, pada Minggu (7/12).
– Gelombang Kedua: 1 ton atau 200 karung, pada Selasa (9/12).
Setiap kepala keluarga menerima satu karung beras seberat lima kilogram tanpa tanda tangan, tanpa foto, tanpa birokrasi. Sementara di kota, pejabat masih sibuk memverifikasi data, di Mentok, warga sudah menanak nasi dari tangan para jurnalis.
“Kami bukan sedang meliput berita, kami sedang menulis sejarah kecil tentang kemanusiaan,” ujar Komarudin, wartawan lokal yang hari itu lebih cepat mengangkat karung daripada mengetik naskah.
Air rob sudah dua kali menenggelamkan rumah warga dalam sebulan. Tapi bantuan resmi datang seperti kabar yang tersesat di jalan.
Di tengah aroma lumpur dan garam, Fadilah dan para wartawan menjadi ironi hidup bahwa wartawan yang biasanya menulis bencana, kini menulis dirinya sendiri dalam lumpur bencana itu.
“Biasanya wartawan datang dengan kamera. Kali ini mereka datang dengan belas kasih,” kata Mak Siti, seorang ibu yang rumahnya sudah dua kali terendam.
Ketua RW Kampung Sawah, Abu Hasan (45), berdiri di depan warganya dengan mata basah.
“Saya berterima kasih kepada Ibu Fadilah dan para wartawan. Ini bukan sekadar bantuan, tapi penghormatan. Kami merasa masih dilihat, masih dianggap manusia,” katanya.
Suaranya menembus bunyi ombak, menyindir keras kenyataan bahwa penghormatan kini lebih langka daripada bantuan. Bagi warga, beras lima kilogram itu bukan sekadar pangan tapi bukti bahwa nurani tak butuh surat tugas.
Kerja sama antara Fadilah dan para wartawan bukanlah proyek, bukan CSR, bukan pencitraan politik. Mereka datang tanpa spanduk, tanpa logo, tanpa seremoni. Bahkan tanpa izin siapa pun kecuali izin hati nurani.
“Kalau bukan kita yang saling jaga, siapa lagi?,” kata Fadilah, pelan namun tajam, seperti tamparan pada dunia yang kini mengukur empati lewat dokumentasi.
Beras yang mereka bawa menjadi simbol kecil dari perlawanan terhadap sistem yang lebih gemar mencatat daripada menolong, lebih sibuk mengklaim daripada mengangkat.
Di Mentok, kemanusiaan tak menunggu surat edaran.
Biasanya, mereka menulis tentang penderitaan orang lain. Tapi kali ini, mereka menjadi berita itu sendiri.
Wajah mereka berlumur lumpur, tapi di mata warga, mereka bersinar lebih terang dari semua breaking news di layar kaca.
“Kami menulis berita tentang orang lain setiap hari. Hari ini kami menulis tentang diri kami sendiri bukan di kertas, tapi di lumpur,” ujar Komarudin, menatap laut yang terus menggeliat di kejauhan.
Mentok menjadi cermin telanjang tentang bagaimana rakyat bertahan tanpa negara, dan bagaimana media yang sering dituduh hanya mengejar sensasi, kini justru menjadi pelaku kemanusiaan paling nyata.
Sementara sebagian orang menunggu waktu untuk tampil di panggung donasi, Fadilah dan wartawan justru berjalan di panggung lumpur.
Sementara kamera berita sibuk mencari angle, mereka menciptakan angle kehidupan. Sementara institusi sibuk menulis rencana aksi, mereka sudah menulis tindakan nyata.
Warga tahu, rob akan datang lagi. Laut tidak bisa dijinakkan. Namun kali ini mereka tidak hanya punya karung beras mereka punya cerita. Cerita tentang lima orang yang datang diam-diam tapi menyalakan cahaya terang.
Mereka bukan pejabat. Bukan pejabat yang berjanji akan datang setelah “Koordinasi Selesai.” Mereka hanyalah orang-orang kecil yang menolak menjadi kecil di hadapan penderitaan.
Di banyak tempat, berita adalah teks yang dibaca. Tapi di Mentok, berita itu hidup dan bernama Fadilah serta empat wartawan yang menolak bungkam.
Data dan Referensi Lapangan
Dokumentasi Lapangan Tim Wartawan Mentok, Bangka Barat (07–09 Desember 2025)
Data Pembagian 4 Ton Beras – Inisiatif Fadilah & Relawan Jurnalis (Mentok Relief Project)
Wawancara Ketua RW Kampung Sawah, Abu Hasan (45), 9 Desember 2025
Laporan Kondisi Rob Kampung Tanjung & Pesisir Pasar Mentok Pasca 7 Desember 2025
(Laporan Khusus Investigatif: Belva Al Akhab, dan Tim).











